BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENGERTIAN PERENCANAAN, RUANG, DAN
TATA RUANG
Pada pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 tahun 2007 disebutkan
bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya. Tata ruang adalah wujud dari struktur ruang dan pola ruang. Struktur
ruang adalah susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Rencana tata ruang adalah rekayasa atau metode pengaturan
perkembangan tata ruang pada kemudian hari. Rencana tata ruang berorientasi
pada kecenderungan karena memerhatikan kecenderungan perkembangan pada waktu
yang lalu, masa kini, dan waktu yang akan datang. Penataan ruang adalah proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Definisi lain tata ruang atau land use adalah wujud struktur ruang dan
pola ruang disusun secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional
disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang dijabarkan dalam Rencana Tata
Ruang wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) tersebut perlu
dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kota (RT/RWK). Tujuan utama
penyelenggaraan penataan ruang berkelanjutan adalah mewujudkan kesejahteraan
masyarakat sehingga dalam proses pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) peran serta masyarakat dengan kearifan lokalnya perlu
diberikan tools dan mekanisme yang jelas agar berinteraksi dalam
penyelenggaraan penataan ruang.[1]
Definisi lain perencanaan tata ruang (spatial planning)
diambil dari European Regional/Spatial Planning Charter yang diadopsi
oleh Konferensi Menteri Eropa yang bertanggung jawab atas Regional Planning
(CEMAT) bahwa perencanaan tata tuang memberikan ekspresi geografis terhadap
kebijakan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis.
B.
PERENCANAAN TATA RUANG
Perencanaan tata ruang dapat memengaruhi proses pembangunan melalui
tiga alat utama, yaitu sebagai berikut.
1.
Rencana pembangunan, yang
menyediakan pengendalian keputusan melalui keputusan strategis, yaitu
pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur manfaat lahan dan
perubahan lingkungan.
2.
Kontrol pembangunan, yang
menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk mewujudkan rencana
pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol pembangunan ini
berlaku pula bagi pemilik lahan pengembang dan investor.
3.
Promosi pembangunan merupakan cara
yang paling mudah mengetahui interaksi antara perencanaan tata ruang dengan
proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan, dengan adanya rencana tata
ruang, pemerintah menginginkan adanya pembangunan dan investasi di daerahnya
dengan cara mempromosikan dan memasarkan lokasi, membuat lahan yang siap
bangun, dan menyediakan bantuan dana serta subsidi.
Selain itu, rencana tata ruang
hendaknya memenuhi unsur-unsur berikut.
1.
Quickly
yeilding, mampu menganalisis pertumbuhan dan
perkembangan daerah, menghasilkan langkah-langkah serta tahapan-tahapan dan
waktu pelaksanaan pembangunan untuk kurun waktu tertentu.
2.
Political
friendly, demokratisasi dan transparansi
sudah menjadi kebutuhan dalam seluruh rangkaian proses penyusunannya.
Pengetahuan rencana tata ruang mulai dari rembug desa hingga penetapan oleh
DPRD sangat menentukan kewibawaan rencana tata ruang.
3.
User friendly, mudah dimengerti oleh segenap lapisan masyarakat. Sosialisasi
perlu dilakukan terus menerus sehingga masyarakat mudah memahami rencana dan
perkembangan yang terjadi.
4.
Market friendly, membuka peluang kepentingan dunia usaha dan rencana penanaman
investasi dengan memerhatikan rencana tata guna lahan yang sesuai dengan
peruntukannya.
5.
Legal friendly, mempunyai kepastian hukum dan masyarakat dapat memperoleh
kemudian untuk melakukan investasinya.
C.
PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH
NASIONAL
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memerhatikan:
1.
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
2.
Perkembangan permasalahan regional
dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional;
3.
Upaya pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;
4.
Keselarasan aspirasi pembangunan
nasional dan pembangunan daerah;
5.
Daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup;
6.
Rencana pembangunan jangka panjang
nasional;
7.
Rencana tata ruang kawasan strategis
nasional;
8.
Rencana tata ruang wilayah provinsi
dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota.
Rencana tata ruang wilayah nasional memuat:
1.
Tujuan, kebijakan, dan strategi
penataan ruang wilayah nasional;
2.
Rencana struktur ruang wilayah
nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan
perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama;
3.
Rencana pola ruang wilayah nasional
yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki
nilai strategis nasional;
4.
Penetapan kawasan strategis nasional;
5.
Arahan pemanfaatan ruang yang berisi
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;
6.
Arahan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem
nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.
Rencana tata
ruang wilayah nasional menjadi pedoman untuk:
1.
Penyusunan rencana pembangunan
jangka panjang nasional;
2.
Penyusunan rencana pembangunan
jangka menengah nasional;
3.
Pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
4.
Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan,
dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian
antarsektor;
5.
Penetapan lokasi dan fungsi ruang
untuk investasi;
6.
Penataan ruang kawasan strategis
nasional;
7.
Penataan ruang wilayah provinsi dan
Kabupaten/Kota.
D.
PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN
Penyusunan rencana tata ruang wilayah Kabupaten mengacu pada:
1.
Rencana tata ruang wilayah nasional
dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
2.
Pedoman dan petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang;
3.
Rencana pembangunan jangka panjang
daerah.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah Kabupaten harus memerhatikan:
1.
Perkembangan masalah provinsi dan
hasil pengkajian implikasi penataan ruang Kabupaten;
2.
Upaya pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi Kabupaten;
3.
Keselarasan aspirasi pembangunan Kabupaten;
4.
Daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup;
5.
Rencana pembangunan jangka panjang
daerah;
6.
Rencana tata ruang wilayah Kabupaten
yang berbatasan;
7.
Rencana tata ruang kawasan strategis
Kabupaten.
Rencana tata ruang wilayah Kabupaten memuat:
1.
Tujuan, kebijakan, dan strategi
penataan ruang wilayah Kabupaten;
2.
Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten
yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan
perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten;
3.
Ketentuan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah Kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan
perizinan, ketentuan insentif dan disintensif, serta arahan sanksi.
Rencana tata
ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:
1.
Penyusunan rencana pembangunan
jangka menengah daerah;
2.
Pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten;
3.
Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan,
dan keseimbangan antar sektor;
4.
Penetapan lokasi dan fungsi ruang
untuk investasi;
5.
Penataan ruang kawasan strategis Kabupaten.
E.
KAWASAN BUDI DAYA PERKOTAAN
Dalam tata ruang kota, beberapa
kawasan yang berada di wilayah perkotaan terbagi atas beberapa zona seperti
perumahan dan pemukiman, perdagangan dan jasa, industri, pelayanan umum, wisata
dan taman rekreasi, pertanian dan perkebunan, tempat pemakaman umum, dan tempat
pembuangan sampah. Untuk pelaksanaan pembangunan perumahan dan pemukiman, tidak
semua wilayah kota memiliki kemampuan dan daya dukung lahan yang baik karena
ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai bahan kajian penentuan kelayakan
lahan tersebut, yaitu:
1.
Tidak berada di kawasan yang rawan
terhadap bahaya terjadinya bencana, seperti gunung berapi, tanah longsor,
gempa, dan banjir;
2.
Memiliki kemiringan lereng (slope)
yang relatif datar atau tidak berada di daerah yang curam dan terjal;
3.
Bukan merupakan kawasan yang
dilindungi atau dikonservasi, seperti kawasan hutan, cagar alam dan budaya,
kawasan DAS, dan sebagainya.
BAB II
ANALISA PENELITIAN
A.
LETAK GEOGRAFIS
Untuk Kelurahan Baleendah jarak yang
ditempuh dari pusat pemerintahan Kecamatan Baleendah kurang lebih 1 km. Jarak
dari Ibukota Kabupaten kurang lebih 16 km, jarak dari Ibukota Provinsi kurang
lebih 19 km, dan jarak dari Ibukota Negara kurang lebih 192 km. Sedangkan
lokasi yang dapat ditempuh ke arah selatan dari pusat kota Bandung jauhnya
sekitar 10 km. Apabila dilihat dari letak geografisnya, Kelurahan Baleendah terletak
pada batas wilayah seperti berikut:
1.
Sebelah utara berbatasan dengan
Sungai Citarum;
2.
Sebelah selatan berbatasan dengan
Jl. Rondaan;
3.
Sebelah barat berbatasan dengan Jl.
Raya Banjaran;
4.
Sebelah timur berbatasan dengan
Selokan Desa.
B.
PETA WILAYAH BALEENDAH
C.
TOPOGRAFI WILAYAH
Kelurahan Baleendah dengan luas
wilayah sebesar 518.187 Ha, terdiri dari 10.346 Ha berupa jalan, 250.630 Ha
sawah dan ladang, 198.959 Ha berupa daerah pemukiman/perumahan, 6.300 Ha
merupakan daerah industri, 84.466 Ha berupa daerah perkantoran. 16 % berupa
daerah perbukitan, 3.055, 05 Ha (84 %) berupa daerah dataran dan ketinggian
tanah dari permukaan laut 650-750 meter.
D.
GAMBARAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI
KELURAHAN BALEENDAH KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG
Penulis skripsi mengemukakan
beberapa ciri dari responden yang menggambarkan pembangunan perumahan di
Kelurahan Baleendah.
1.
Peningkatan perekonomian daerah
sekitar dengan persentase: sangat setuju 36%, setuju 64%. Sedangkan untuk
alternatif jawaban kurang setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju itu
tidak memiliki persentase (0%). Jadi dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50%
menyatakan setuju peningkatan perekonomian disebabkan oleh pengaruh daerah
sekitar dengan adanya pembangunan perumahan.
2.
Pengaruh pembangunan perumahan
terhadap mobilitas penduduk dengan persentase: sangat setuju 26%, setuju 70%,
kurang setuju 4%. Sedangkan untuk alternatif jawaban tidak setuju dan sangat
tidak setuju tidak memiliki persentase (0%). Jadi dapat disimpulkan bahwa lebih
dari 50% berpendapat setuju dampak pengaruh pembangunan perumahan terhadap
mobilitas penduduk semakin ramai.
3.
Pengaruh pembangunan terhadap
peningkatan pendapatan daerah dengan persentase: sangat setuju 18%, setuju 68%,
kurang setuju 14%. Sedangkan untuk alternatif tidak setuju dan sangat tidak
setuju tidak memiliki persentase (0%). Jadi dapat disimpulkan bahwa lebih dari
50% berpendapat setuju pembangunan perumahan dapat meningkatkan pendapatan
daerah.
4.
Pembangunan perumahan berdampak
negatif dengan terjadinya kesenjangan ekonomi masyarakat sekitar dengan
persentase: sangat setuju 20%, setuju 66%, kurang setuju 12%, tidak setuju 2%,
dan sangat tidak setuju tidak memiliki persentase (0%). Maka dapat disimpulkan
bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju dampak negatif terhadap lingkungan
dengan terjadinya kesenjangan ekonomi dengan masyarakat sekitar.
5.
Pembangunan perumahan dapat
menimbulkan persaingan yang kurang sehat dengan persentase: sangat setuju 20%,
setuju 78%, dan kurang setuju 4%. Sedangkan untuk alternatif jawaban tidak
setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki persentase (0%). Maka dapat
disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju pembangunan perumahan dapat
menimbulkan persaingan yang kurang sehat.
6.
Pengaruh pembangunan perumahan
mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial dengan persentase: sangat setuju
30%, setuju 64%, kurang setuju 6%. Sedangkan untuk alternatif jawaban tidak
setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki persentase (0%). Maka dapat
disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju dampak sarana transportasi
dapat mengakibatkan peningkatan alat transportasi.
7.
Pengaruh pembangunan perumahan
mempengaruhi tata ruang pemeliharaan lingkungan perumahan dengan persentase:
sangat setuju 24%, setuju 70%, kurang setuju 6%. Sedangkan untuk alternatif
jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki persentase (0%).
Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju pengaruh pembangunan perumahan dapat
mempengaruhi tata ruang pemeliharaan lingkungan perumahan.
8.
Pengaruh pembangunan perumahan
mempengaruhi tata ruang penataan daerah pemukiman dengan persentase: sangat setuju
14%, setuju 66%, kurang setuju 10%, tidak setuju 6%, dan sangat tidak setuju 4%.
Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju pengaruh
pembangunan perumahan mempengaruhi tata ruang penataan daerah pemukiman.
9.
Pengaruh pembangunan perumahan dapat
mempengaruhi tata ruang vitalitas ruang yang strategis dengan presentase:
sangat setuju 22%, setuju 78%. Sedangkan untuk alternatif jawaban kurang
setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju tidak memiliki persentase (0%).
Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju pembangunan
perumahan juga dapat mempengaruhi tata ruang vitalitas ruang yang strategis.
10. Pembangunan perumahan mempengaruhi tata ruang lingkungan yang
rentan bencana dengan presentase: sangat setuju 24%, setuju 56%, kurang setuju
12%, tidak setuju 8%. Sedangkan untuk alternatif jawaban sangat tidak setuju
tidak memiliki persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50%
menyatakan setuju pembangunan perumahan mempengaruhi tata ruang lingkungan yang
rentan bencana.
11. Pembangunan perumahan mempengaruhi kontribusi lahan yang luas dan
murah dengan persentase: sangat setuju 24%, setuju 56%, kurang setuju 12%,
tidak setuju 8%. Sedangkan untuk alternatif jawaban sangat tidak setuju tidak
memiliki persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50%
menyatakan setuju pembangunan perumahan mempengaruhi kontribusi lahan yang luas
dan murah.
12. Pembangunan perumahan mempengaruhi ukuran keberhasilan dari
kekayaan rata-rata dengan persentase: sangat setuju 24%, setuju 56%, kurang
setuju 12%, tidak setuju 8%. Sedangkan untuk alternatif jawaban sangat tidak
setuju tidak memiliki persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari
50% menyatakan setuju pembangunan perumahan mempengaruhi ukuran keberhasilan pembangunan
dari kekayaan rata-rata.
13. pembangunan perumahan mempengaruhi ukuran keberhasilan kualitas
hidup dengan persentase: sangat setuju 24%, setuju 56%, kurang setuju 12%,
tidak setuju 8%. Sedangkan untuk alternatif jawaban sangat tidak setuju tidak
memiliki persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50%
menyatakan setuju pembangunan perumahan mempengaruhi ukuran keberhasilan
pembangunan kualitas hidup.
14. Pembangunan perumahan mempengaruhi ukuran keberhasilan kerusakan
lingkungan hidup dengan persentase: sangat setuju 24%, setuju 56%, kurang
setuju 12%, tidak setuju 8%. Sedangkan untuk alternatif jawaban sangat tidak
setuju tidak memiliki presentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari
50% menyatakan setuju pengaruh pembangunan perumahan mempengaruhi kerusakan
lingkungan hidup.
15. Pengaruh pembangunan perumahan mempengaruhi keadilan sosial dan
kesinambungan dengan presentase: sangat setuju 24%, setuju 56%, kurang setuju
12%, tidak setuju 8%. Sedangkan untuk alternatif jawaban sangat tidak setuju
tidak memiliki presentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50%
menyatakan setuju pengaruh pembangunan perumahan mempengaruhi keadilan sosial
dan kesinambungan.
E.
GAMBARAN KONDISI LINGKUNGBAN DI
KELURAHAN BALEENDAH KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG
1.
Penyempitan lahan pertanian dengan
persentase: sangat setuju 20%, setuju 76%, kurang setuju 4%. Sedangkan untuk
alternatif jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki
persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% berpendapat setuju
kondisi lingkungan berdampak menjadi penyempitan lahan pertanian.
2.
Tercemarnya lapisan udara memiliki
persentase: sangat setuju 18%, setuju 76%, kurang setuju 6%. Sedangkan untuk
alternatif jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki
persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan dapat
mengakibatkan tercemarnya lingkungan lapisan udara.
3.
Berkurangnya resapan air, memiliki
persentase: sangat setuju 14%, setuju 78%, kurang setuju 6%, tidak setuju 2%.
Sedangkan untuk alternatif jawaban sangat tidak setuju tidak memiliki
persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju
kondisi lingkungan berdampak pada berkurangnya resapan air.
4.
Tata kelola saluran air dengan persentase:
sangat setuju 18%¸ setuju 74%, kurang setuju 8%. Sedangkan untuk alternatif
jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki persentase (0%).
Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju kondisi
lingkungan abiotik air dapat berdampak pada tata kelola saluran air.
5.
Kurangnya kelembapan udara, memiliki
persentase: sangat setuju 24%, setuju 70%, kurang setuju 6%, sedangkan untuk
alternatif jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki
persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju
kondisi lingkungan abiotik kelembapan dapat berdampak pada berkurangnya
kelembapan udara.
6.
Meningkatnya suhu udara, memiliki
persentase: sangat setuju 20%, setuju 60%, kurang setuju 6%, tidak setuju 14%,
dan untuk alternatif jawaban sangat tidak setuju tidak memiliki persentase
(0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju kondisi
lingkungan abiotik cahaya dapat berdampak meningkatkan suhu udara.
7.
Meningkatkan suara bising, memiliki
persentase: sangat setuju 22%, setuju 74%, kurang setuju 8%. Sedangkan untuk
alternatif jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki
persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju
bahwa kondisi lingkungan dapat berdampak pada lingkungan abiotik bunyi yang
mengakibatkan peningkatan suara bising.
8.
Berkurangnya tumbuhan, memiliki
persentase: sangat setuju 22%, setuju 70%, kurang setuju 8%. Sedangkan untuk
alternatif jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki
persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju
kondisi lingkungan pembangunan dapat mengakibatkan berkurangnya tumbuhan.
9.
Resapan air berkurang, memiliki
persentase: sangat setuju18%, setuju 76%, kurang setuju 6%. Sedangkan untuk
alternatif jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju tidak memiliki
persentase (0%). Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju
kondisi lingkungan pembangunan dapat mengakibatkan berkurangnya resapan air.
10. Menyempitnya populasi hewan, memiliki persentase: sangat setuju 8%,
setuju 52%, kurang setuju 20%, tidak setuju 16%, dan sangat tidak setuju 4%.
Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju bahwa kondisi
lingkungan pembangunan dapat mengakibatkan menyempitnya populasi hewan.
11. Berkurangnya pakan hewan, memiliki persentase: sangat setuju 8%,
setuju 52%, kurang setuju 20%, tidak setuju 16%, dan sangat tidak setuju 4%.
Maka dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju kondisi
lingkungan pembangunan dapat mengakibatkan berkurangnya pakan hewan.
12. Peningkatan populasi manusia: sangat setuju 8%, setuju 52%, kurang
setuju 20%, tidak setuju 16%, sangat tidak setuju 4%. Maka dapat disimpulkan
bahwa lebih dari 50% menyatakan setuju kondisi lingkungan pembangunan dapat
mengakibatkan peningkatan populasi manusia.
13. Peningkatan mobilitas penduduk: 8% sangat setuju, 52% setuju, 20%
kurang setuju, 16% tidak setuju, 4% sangat tidak setuju. Maka dapat disimpulkan
bahwa 50% menyatakan setuju kondisi lingkungan pembangunan dapat mengakibatkan
peningkatan mobilitas penduduk.
14. Banyaknya sampah yang tidak terurai mikro organisme: 8% sangat
setuju, 52% setuju, 20% kurang setuju, 16% tidak setuju, 4% sangat tidak
setuju. Maka dapat disimpulkan bahwa 50% menyatakan setuju kondisi lingkungan
pembangunan dapat mengakibatkan banyaknya sampah yang tidak terurai mikro
organisme.
BAB III
SOLUSI
Untuk membatasi pertumbuhan pembangunan perumahan yang berdampak
negatif bagi kelestaian lingkungaan, maka pemerintah daerah terutama BPND
(Badan Pertahanan Nasional Daerah) supaya memperketat ijin mendirikan bangunan
(IMB). Penelitian ini juga berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan. Hal ini
perlu adanya pengawasan dan pembatasan
ijin operasional melalui persyaratan hasil kajian AMDAL (Analisis Dampak
Lingkungan).
Pengaruh pembangunan perumahan terhadap kelestarian lingkungan di
kelurahan Baleendah Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung sudah harus
diperhatikan oleh masyarakat sekitar, depeloper, BPND (Badan Pertahanan
Nasional Daerah), petugas AMDAL tentang pengaturan ijin mendirikan bangunan
(IMB), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) pemerintah DT II, dan DT
I di tingkat propinsi Jawa Barat, supaya adanya undang-undang yang mengatur.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
bab II menyatakan bahwa Urusan Pemerintah terdiri atas urusan pemerintah yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan Urusan Pemerintahan yang dibagi
bersama antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan. Pada ayat 4 disebutkan
bahwa urusan pemerintahan yang dibagi bersama terdiri atas 31 bidang urusan
pemerintahan yang meliputi:
1.
Pendidikan;
2.
Kesehatan;
3.
Pekerjaan umum;
4.
Perumahan;
5.
Penataan ruang;
6.
Perencanaan pembangunan;
7.
Perhubungan;
8.
Lingkungan hidup;
9.
Pertanahan;
10.
kependudukan dan catatan sipil;
11.
Pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak;
12.
Keluarga berencana dan keluarga
sejahtera;
13.
Sosial;
14.
Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
15.
Koperasi dan usaha kecil dan
menengah;
16.
Penanaman modal;
17.
Kebudayaan dan pariwisata;
18.
Kepemudaan dan olahraga;
19.
Kesatuan bangsa dan politik dalam
negeri;
20.
Otonomi daerah, pemerintahan umum,
administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandingan;
21.
Pemberdayaan masyarakat dan desa;
22.
Statistik;
23.
Kearsipan;
24.
Perpustakaan;
25.
Komunikasi dan informatika;
26.
Pertanian dan ketahanan pangan;
27.
Kehutanan;
28.
Energi dan sumber daya mineral;
29.
Kelautan dan perikanan;
30.
Perdagangan;
31.
Perindustrian.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
bab III bagian kedua pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan seperti eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi. Pada ayat 2 menyebutkan bahwa urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan. Pada pasal 7 ayat 2 menyebutkan bahwa urusan wajib meliputi:
1.
Pendidikan;
2.
Kesehatan;
3.
Lingkungan hidup;
4.
Pekerjaan umum;
5.
Penataan ruang;
6.
Perencanaan pembangungan;
7.
Perumahan;
8.
Kepemudaan dan olahraga;
9.
Penanaman modal;
10.
Koperasi dan usaha kecil dan
menengah;
11.
Kependudukan dan catatan sipil;
12.
Ketenagakerjaan;
13.
Ketahanan pangan;
14.
Pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak;
15.
Keluarga berencana dan keluarga
sejahtera;
16.
Perhubungan;
17.
Komunikasi dan informatika;
18.
Pertahanan;
19.
Kesatuan bangsa dan politik dalam
negeri.
20.
Otonomi daerah, pemerintahan umum,
administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian.
21.
Pemberdayaan masyarakat dan desa;
22.
Sosial;
23.
Kebudayaan;
24.
Statistik;
25.
Kearsipan;
26.
Perpustakaan.
pada pasal 8 ayat 2 menyebutkan Pemerintahan dDerah yang melalaikan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh pemerintah dengan pembiayaan bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutann. Dan pada pasal 8 ayat 3
menyatakan sebelum penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemerintah melakukan langkah-langkah pembinaan terlebih dahulu
berupa teguran, intruksi, pemeriksaan, sampai dengan penugasan pejabat
pemerintah ke daerah yang bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang bersifat wajib tersebut.
Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah ikut berperan penting dalam
pemerintah yang wajib seperti halnya dalam bidang perumahan maupun tata ruang.
Dan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah non Departemen menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. Dan
untuk penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dilakukan
selambat-lambatnya dalam waktu 2 tahun. Maka dari itu sebelum didirikannya
perumahan maupun tata ruang, pengusaha dan pemerintah harus bekerjasama dengan
baik agar tidak menjadi malfungsi. Artinya peran perumahan dan tata ruang tidak
menjadi dampak yang buruk pada lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrullah.J Adon, Sosiologi Perkotaan, 2015, Bandung:
Pustaka setia
Skripsi: Sintayanti Zakiah Darajat, Pengaruh Pembangunan
Perumahan Terhadap Kelestarian Lingkungan